ABANA: Dr. Mohammad Nasih

 


Dr. Mohammad Nasih lahir pada tahun 1979 di Desa Mlagen, Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang. Ia adalah anak sepasang suami istri yang tersohor sebagai salah satu penceramah di Rembang. Sejak kecil ia sudah belajar baca tulis Arab dari kedua orang tuanya. Hal itu yang kemudian membuatnya berbeda dengan teman-temannya yang lain. Karena memang  lingkungan dan keluarga yang sangat mendukung.

Kedua orang tuanya, H. Mohammad Mudzakkir dan Hj. Chudzaifah Hafidhah  adalah penghafal-penghafal al-Qur’an (hafidh dan hafidhah). Dan meskipun kurang begitu serius, ia sudah dikenalkan kitab-kitab oleh kedua orang tuanya yang berasal dari pesantren. Seperti kitab nahwu dan sharaf yang merupakan dasar-dasar dalam memahami al Qur’an dan kitab gundul.

Ia menjalani masa kecilnya di kampung halaman sampai menamatkan Sekolah Menengah Pertama (MTs) swasta di Desa Pomahan, Kecamatan Sulang. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan formal di MAN Lasem dan memutuskan menjadi santri di Pondok Pesantren yang masih dekat dengan sekolanya. Namun baru beberapa bulan ia tinggal di Pondok Pesantren, kabar duka mengenai kematian ayahnya pun sampai kepadanya. Meskipun begitu, tak mengurangi spirit yang sudah ditanamkan oleh ayahnya unruk menghafalkan al-Qur’an, melanjutkan hafalan yang sudah ia miliki sebelumnya.

Dalam waktu kurang lebih setahun setengah ia berhasil menyelesaikan hafalan 30 juz. Bukan suatu hal yang mengagetkan dengan kurun waktu yang begitu cepat ia bisa menyelesaikan hafalannya, namun karena basic mengaji dan cicilan hafalan yang sudah ia miliki sebelumnya. Hal seperti ini yang sering orang lain salah pahami dengan sebutan ilmu laduni.

Tinggal di pondok pesantren tentu akan terikat oleh banyak aturan yang sudah ditetapkan. Namun ia adalah sosok yang sudah menerapkan nilai-nilai kedisiplinan tinggi pada dirinya sendiri. Hal tersebutlah yang membuat saya termotivasi untuk terus meningkatkan kedisiplinan pada diri saya sendiri. Karena memang nilai-nilai kedisiplinan itu masih tetap ada pada dirinya hingga saat ini. Tidak ada alasan untuk tidak disiplin dalam kehidupan yang ia jalani sehari-hari.

Spirit dan dorongan yang kuat yang diberikan oleh ayahnya, juga keseriusan dan kedisiplinan yang tinggi membuatnya untuk terus melangkah melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi di Jurusan Fisika Unnes. Karena beberapa hal yang ia alami ketika menjadi Mahasiswa Unnes, salah satunya usaha mati-matian yang sudah ia lakukan untuk mendapatkan IPK tertinggi membuatnya untuk memutuskan pindah ke UIN Walisongo Semarang, Jurusan Tafsir Hadits. Hal yang membedakan yang ia rasakan ketika menjadi Mahasiswa Unnes dan Mahasiswa UIN adalah ketika usaha-usaha yang ia lakukan yang terlihat biasa bisa membuatnya mendapatkan nilai IPK 3,9. Berbeda dengan di Unnes.

Dr. Mohammad Nasih adalah salah satu aktivis dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam atau biasa dikenal dengan sebutan HMI. Di organisasi kemahasiswaan Islam tertua di dunia inilah kemudian ia berkecimung. Berbagai latihan perkaderan ia tempuh dalam organisasi HMI, dari LK 1 (basic training), LK 2 (Intermediate training), sampai SC (Senior Course). Dari sinilah kemudian membuat pemikirannya semakin dinamis, karena bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi. Sering melakukan diskusi dan menjadi pemateri dalam suatu agenda training di HMI. Hal itu masih ia jalani hingga saat ini. Karena menjadi sering melakukan diskusi dan mengisi diskusi akan semakin melatih daya intelektual selain mendapatkan vanyak relasi. Karena di HMI ataupun organisasi lain selain HMI tntu memiliki banyak dinamika yang harus dihadapi.

Tidak berhenti disitu saja. Setelah wisuda S1, semangat perjuangan masih terus berkobar dalam dirinya untuk terus melanjutkan jenjang pendidikan Program Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Bhkan setelah lulus S2, ia masih melanjutkan ke jenjang S3 di Program Studi yang sama untuk lebih mendalami politik Islam. Namun, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sampai ke jenjang Profesor karena ia rasa berdasarkan pengamatan, penelitian, dan bukti reel yang ia temui dalam kehidupan sehari-hari bahwa tak banyak dari orang yang memiliki gelar Profesor tidak memiliki daar keilmuan yang memadai. Ada banyak hal yang kemudian membuatnya untuk berhenti sampai pada jenjang pendidikan S3.

Namun, perjuangan yang ia lakukan tak berhenti begitu saja. Ia yang dulunya sempat tersesat dalam aliran Liberal, yang bahkan ketika sudah menikah aliran itu masih saja ia pertahankan dalam dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu yang begitu lama hingga bertahun-tahun kemudian ia sadar akan jalan liberal yang ia tempuh selama ini ternyata salah. Bahkan dengan basic keilmuan yang ia miliki sebelumnya cukup membuat orang tak percaya bahwa ia adalah salah seorang penganut paham liberal.

Ia dikenal dengan dengan sosok yang memiliki ambisi yang begitu kuat dalam hal apapun terlebih dalam hal kepemimpinan. Melihat berbagai problematika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, ia memutuskan untuk mendirikan Pondok Pesantren yang kemudian dikenal dengan sebutan Monash Institute. Berbeda dengan Pondok Pesantren pada umumnya, ia menerapkan berbagai disiplin keilmuan dan metode-metode pengajaran yang baru dan tidak banyak diterapkan di banyak Pondok Pesnatren. Dari metode baca kitab, menghafal al-Qur’an, berwirausaha, dan juga kepemimpinan.

Ia juga membuat sebutan yang berbeda terhadap santri yang tinggal di Monash Institute, yaitu disciples. Nilai kedisiplinan yang tinggi begitu ketat diterapkan dalam diri masing-masing disciples. Dengan harapan akan melahirkan para intelektual muda yang mampu membawa banyak perubahan dalam kehidupan dengan tetap berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadits, serta berbasis sains dan teknologi.

0 Komentar