Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia yang mempunyai kontribusi penting dalam mencerdaskan dan memajukan bangsa lndonesia. Banyak lembaga pendidikan yang telah dilahirkan oleh tangan-tangan dingin pada masa lalu seperti madrasah, sekolah, dan pondok pesantren. Namun, pondok pesantren lebih memiliki peran penting dalam memajukan bangsa lndonesia. Dengan begitu, perhatian terhadap santri mengenai ilmu pengetahuan harus digencarkan lagi. Melihat kondisi saat ini, banyak pondok pesantren yang tersebar di seluruh penjuru daerah yang memiliki basis pembelajaran masing-masing namun, belum bisa memberikan atau ikut berkontribusi dalam mewujudkan kemandirian intelektual.
Salah satu yang menjadi keresahan saat ini adalah adanya dikotomi antara pondok pesantren tahfidz dan kitab. Sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mampu melahirkan santri yang memiliki kemampuan kemandirian secara intelektual, seharusnya mampu memadukan kedua hal tersebut. Namun kebanyakan pondok pesantren yang ada, masih kurang menerapkan adanya sinkronisasi pembelajaran antara kitab dan tahfidz. Para pemuka agama atau yang sering kita sebut dengan kyai, lebih menekankan titik fokus pada salah satu dari kedua hal tersebut. Padahal, ketika menerapkan metode pembelajaran dengan memadukan antara kitab dan tahfidz akan mampu melahirkan generasi-generasi penerus bangsa yang lebih unggul dan berkualitas.
Sering kali santri lulusan pondok pesantren tahfidz ketika ditanyai mengenai cara baca ataupun materi dasar mengenai kitab kuning, seperti nahwu dan shorof, mereka masih kurang paham. Padahal seharusnya dalam proses menghafal al-Qur’an dengan menerapkan metode pembelajaran seperti yang diterapkan dalam pembelajaran kitab kuning, akan membuat seseorang lebih cepat saat menghafal al-Qur’an. Selain itu, seorang santri juga akan mampu ketika disodori kitab kuning. Hal tersebut karena memang keduanya memiliki keterkaitan tersendiri, baik itu dari segi cara baca maupun makna. Dengan menghafal al-Qur’an seseorang juga akan lebih mudah dalam membaca kitab kuning, karena banyak kosa kata yang ada di dalam kitab kuning yang dasarnya terdapat dalam al-Qur’an dan itu juga bisa menjadi salah satu antisipasi dalam meminimalisir adanya kesalahan dalam memahami makna.
Namun yang lebih dahulu perlu diperhatikan dalam menghafal al-Qur’an adalah mengenai cara baca yang baik dan benar. Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan pondok pesantren dalam mengajarkan santri perihal cara baca al-Qur’an yaitu dengan menggunakan metode “utawi, iku” dan tashrifan. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan mengenai hal tersebut, pada suatu pondok pesantren yang mengajarkan santri dengan menggunakan metode “utawi, iku” dan tashrifan membuat santri lebih mudah dalam memahami cara baca al-Qur’an yang baik dan benar. Ketika seorang santri sudah mampu memahami cara baca al-Qur’an dengan metode tersebut, lama kelamaan mereka akan cepat memahami dan menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Sehingga akan mendukung daya pikirnya dalam membaca dan memahami kitab kuning.
Hal tersebut seharusnya sudah diajarkan sejak kecil sebelum masuk pesantren. Namun karena tidak semua orang tahu dan paham mengenai hal tersebut, lalu mereka menyerahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan pondok pesantren untuk mampu mengajarkan anak-anak mereka metode pembacaan al-Qur’an yang baik dan benar. Melakukan pendekatan pembacaan dengan memadukan metode al-Qur’an dan kitab kuning akan membentuk kecerdasan intelektual pada santri, sehingga santri dapat berkontribusi dalam ikut serta memajukan bangsa lndonesia yang terkenal dengan mayoritas muslim terbesar di dunia.
Melihat berbagai hal yang menjadi pembahasan diatas, solusi yang bisa dilakukan untuk bisa melahirkan santri yang memiliki kecerdasan intelektual adalah dengan menghilangkan adanya dikotomi antara pondok pesantren tahfidz dan kitab. Dengan begitu maka santri akan mampu untuk bisa memenuhi fitrahnya sebagai seorang santri yang mampu memadukan al-Qur’an dan kitab kuning.
Oleh: Zahrotul Muniroh, Mahasiswi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang
0 Komentar