Hari Raya dan Shalat Id di Desa Bogotanjung

 



    Umat Islam setiap tahunnya, merayakan dua kali Hari Raya. Yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Di hari Raya Idul Fitri, semua orang bermaaf-maafan atas kesalahan yang mereka lakukan baik disengaja atau tidak kepada keluarga, teman, dan kerabat dekat. Bahkan tradisi sungkeman adalah suatu hal yang menjadi rutinitas ketika Hari Raya Idul Fitri.

    Namun kebanyakan orang salah kaprah dalam memahami makna Idul Fithri. Apa sih makna Idul Fitri yang sesungguhnya?

Idul Fitri sering diartikan sebagai hari kembali suci. Namun sejatinya, makna Idul Fithri bukanlah hari Kembali suci. Karena jika suci itu Fithrah, bukan Fitri. Memang kedua kata itu hampir sama, namun tetap saja maknanya berbeda. Jika Fithrah bermakna suci, maka Fitri artinya adalah Kembali makan pagi (sarapan).

Namun lebaran kali ini tentu berbeda dengan lebaran tahun-tahun sebelumnya. Selain karena wabah covid’19, dari pihak pemerintah terutama Presiden Jokowi melarang adanya mudik. Semua lintas jalan yang bisa dilewati kendaraan dijaga dengan penjagaan yang ketat, sehingga tidak ada yang bisa melakukan arus mudik. Baik Itu kendaraan roda dua hingga kendaraan roda enam.

Selain itu, sholat Id juga dilaksanakan dengan jaga jarak sesuai anjuran yang sudah berlaku. Selain itu, kita juga tetap dianjurkan untuk terus menggunakan masker meskipun sedang dalam keadaan sholat. Begitu juga yang terjadi di Desa Bogotanjung Kec. Gabus Kab. Pati. Namun berbeda dengan tahun kemaren yang masih menjalankan aturan jaga jarak saat sholat, tahun ini sholat Id Kembali dilaksanakan seperti biasanya, yaitu tanpa menerapkana aturan jaga jarak. Hanya saja semua jama’ah tetap diwajibkan untuk menggunakan masker sebagai bentuk antisipasi terhadap adanya wabah Covid’19.

Setelah menjalankan Sholat Id, sesuatu yang menjadikan Desa Bogotanjung ini berbeda dengan kebanyakan Desa yang lain adalah rutinitas ziarah kubur yang dilaksanakan setelah menunaikan sholat Id. Setelah menunaikan ibadah sholat Id, para jama’ah dari yang tua hingga yang masih kecil, mereka berbondong-bondong menuju ke makam untuk melakukan ziarah kubur terhadap keluarga maupun sanak saudara yang sudah meninggal. Sedangkan di Desa-Desa yang lain, ziarah kubur biasanya dilaksankan sebelum Hari Raya.

Kegiatan bersalam-salaman juga berjalan seperti biasa, berbeda dengan tahun sebelumnya ketika wabah Covid’19 masih merebak di lingkungan masyarakat. Semua orang masih takut untuk berjabat tangan dengan sesama, karena khawatir akan tertular Covid’19. Namun Alhamdulillah lebaran tahun ini berjalan seperti biasa. Sebagai sesama umat islam yang sedang merayakan Hari Raya Idul Fithri, bersalam-salaman adalah suatu bentuk kegiatan yang menjadi rutinitas sebagai bentuk pemberian maaf atas dosa-dosa yang sudah dilakukan kepada sesama, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Setelah kegiatan ziarah, rutinitas selanjutnya yang dilakukan oleh orang-orang di Hari Raya adalah bermaaf-maafan yang diawali dengan sungkeman kepada kedua orang tua terlebih dahulu. Setelah itu, baru ke sanak saudara dan kerabat dekat. Tidak berhenti di situ saja. Di Desa Bogotanjung, beberapa warga melakukan kegiatan bermaaf-maafan dengan cara keliling di rumah-rumah tetangga yang lumayan dekat dengan rumahnya.

Sedangkan satu yang menjadi ciri khas di bulan syawal ini adalah ketupat. Ketupat menjadi makanan khas ketika masuk Hari Raya Idul Fitri, bahkan menjadi identitas dan simbol perayaan untuk umat islam di Indonesia. Terkhusus tepat di tanggal 7 Syawal yang biasa disebut dengan istilah jawanya “Bodo Kupat”. Warga di Desa Bogotanjung semuanya membuat ketupat untuk menghormati tradisi yang sudah ada sejak dulu. Lalu beberapa ada yang di pasang di tempat-tempat tertentu di dalam rumah yang konon katanya untuk memberikan suguhan kepada saudara yang sudah meninggal.

Memang tidak seharusnya kita percaya mengenai hal-hal seperti itu. Namun kembali kepada tradisi yang sudah berlaku dan berjalan sejak dulu yang sudah menjadi suatu adat kebudayaan. Sebagai generasi penerus, kita perlu menghormati tradisi yang telah ada dan menjaganya selama itu tidak menyalahi syariat islam.Itu adalah salah satu cara untuk tetap menjaga keharmonisan dalam berkehidupan sosial. 

Oleh: Zahrotul Muniroh, Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang

 

 

 

0 Komentar