Memakai barang tanpa izin pemiliknya lalu mengembalikan ke tempat semula atau yang biasa disebut dengan istilah “ghasab“, sudah menjadi suatu hal yang lazim di kalangan santri. Padahal mereka tahu bahwa perilaku itu dilarang dalam agama Islam. Dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 29 Allah berfirman:
ـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَاۡكُلُوۡۤا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ اِلَّاۤ اَنۡ تَكُوۡنَ تِجَارَةً عَنۡ تَرَاضٍ مِّنۡكُمۡ ۚ وَلَا تَقۡتُلُوۡۤا اَنۡـفُسَكُمۡؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيۡمًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”
Dari ayat diatas jelas bahwa Allah melarang hamba-hamba-Nya untuk mengambil barang milik orang lain dengan jalan yang batil, yang salah satunya adalah ghasab. Sebab, selain ghasab, mencuri juga masuk dalam kategori yang dimaksud dalam ayat tersebut.
Ghasab adalah istilah yang tidak asing lagi di telinga santri. Hampir setiap santri mengetahui makna dari istilah ghasab tersebut. Ghasab sendiri tidak bisa dimasukkan dalam kategori meminjam, karena tidak ada akad peminjaman sebelumnya. Ghasab juga tidak bisa dimasukkan dalam kategori mencuri, karena tidak ada unsur kepemilikan setelahnya.
Namun, ketika dikaitkan dengan kehidupan di lingkungan pondok pesantren, perilaku pinjam meminjam barang tanpa izin sudah menjadi suatu hal yang biasa atau wajar. Biasanya mereka melakukan hal ini ketika dalam kondisi terpaksa. Namun, ada juga yang memang dengan sengaja melakukannya.
Jika dipikir-pikir, apakah itu bisa dimasukkan dalam kategori ghasab atau tidak? Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa setiap pengambilan manfaat dari suatu barang yang notebane milik orang lain tanpa seizin pemiliknya, hal tersebut sama halnya dengan ghasab.
Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda: “Janganlah sekali-sekali salah satu di antara kamu semua mengambil kesenangan temannya secara sungguh-sungguh dan tidak juga secara senda gurau. Dan jika salah satu di antara mereka menemukan tongkat temannya maka hendaklah ia mengembalikan kepadanya.”(H.R. Musnad Ahmad).
Hadist diatas secara umum menjelaskan tentang larangan untuk mengambil dan memanfaatkan barang milik temannya baik itu sengaja yakni ingin berniat menguasainya maupun sendau gurau dengan berniat main-main saja. Semua perbuatan itu tetap masuk dalam kategori ghasab.
Salah satu objek yang biasanya menjadi sasaran dari perilaku ghasab itu sendiri adalah sandal. Santri biasanya memakai sandal dengan sembarangan. Tanpa tahu itu sandal milik siapa, mereka langsung memakainya tanpa meminta izin dari pemiliknya terlebih dahulu.Terkadang hal ini dimaklumi oleh beberapa santri, karena memang begitulah hidup bersama di lingkungan pondok pesantren. Namun, ada juga sebagian dari santri lain yang membenci akan adanya budaya ini dengan alasan ia berhak akan barang miliknya sendiri.
Uniknya, menggosob ini merupakan suatu kebiasaan yang dianggap wajar. Disebabkan anggapan seerti itu, ghasab menjadi sebuah tradisi atau budaya turun temurun pondok pesantren yang sangat sulit untuk ditinggalkan. Namun, ada juga pondok pesantren yang berusaha untuk menghilangkan tradisi menggosob ini dengan memberikan nama dari barang-barang milik santri yang biasanya menjadi objek sasaran dari perilaku ghasab.
Jika ditinjau dari segi psikologi abnormalitas, timbul pertanyaan, apakah ghasab masuk dalam kategori normal atau abnormal? Dilihat secara sekilas, budaya ghasab memang masuk kategori abnormal karena memang tidak sesuai dengan kategori umum, merugikan banyak pihak, dan juga bisa disebut sebagai perilaku menyimpang.
Namun, menurut penulis, ghasab tidak masuk dalam perilaku abnormal, karena perilaku abnormal adalah perilaku yang tidak biasa dan tidak bisa diterima secara sosial atau melanggar norma sosial. Sedangkan, ghasab di kawasan pondok pesantren adalah suatu hal yang lazim dan masih bisa diterima meskipun tidak keseluruhan menerimanya. Sebab, hal itu sudah menjadi tradisi atau budaya yang sulit untuk dihilangkan.
Oleh karena itu, dalam lingkungan pesantren yang notabennya hidup dalam kebersamaan, hendaknya dilakukanlah kesepakatan. Jika tak ada kesepakatan, maka dari situ hukum dari barang tersebut bisa syubhat atau bahkan haram. Hampir seluruh santri mengetahui fenomena ghasab merupakan hal negatif, namun tetap dilaksanakan. Perilaku santri dalam melakukan ghasab dapat memicu terjadinya perilaku ghasab lainnya. Sehingga timbullah slogan menggelitik, “Barang siapa yang mengghasab, pasti dia akan dighasab.”
Upaya menanggulangi permasalahan ini bisa dilakukan dengan menanamkan rasa kesadaran dalam diri setiap santri. Hal itu bisa dilakukan dengan mempertegas kedisiplinan di pondok pesantren dan memberikan suri tauladan yang baik untuk tidak mengghasab. Sudah seharusnya seorang santri bisa mengaplikasikan apa yang ia dapat dari pondok pesantren dalam kehidupan kesehariannya serta sadar terhadap langkah yang akan ia pijak.
Meninggalkan tradisi buruk di lingkungan pesantren merupakan langkah membangun karakter santri demi menghadapi tantangan zaman. Semua itu bisa dimulai dari hal yang sederhana terlebih dahulu, menjauhi ghasab misalnya. Kedepannya diharapkan akan ada banyak perubahan dari santri yang bisa memperbaiki pandangan masyarakat mengenai tradisi negatif tersebut terhadap pondok pesantren. Lebih jauh lagi, santri diharapkan dapat membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia. Sebab, sejarah telah mencatat bahwa santri pernah menjadi bagian dari terhapusnya penjajahan di bumi pertiwi. Waallahu a’lam bi ash-shawab
Oleh: Zahrotul Muniroh, Mahasiswi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Walisongo Semarang
0 Komentar